KONFLIK batin dialami sejumlah siswa SMA beberapa menit setelah mendengarkan pelajaran tentang nilai-nilai moral. Dalam ruang kelas, guru memperkenalkan dan mengajarkan nilai saling menghargai, menghormati sesama, menghindari tindak kekerasan, hidup jujur, dan berlaku adil.
Di luar kelas, mereka menyaksikan peristiwa perendahan martabat manusia, tawuran antarrekan pelajar, pemuda mengejek pemudi yang sedang lewat, tindak kekerasan oleh preman, oknum penguasa, korupsi di depan umum (bdk. Seminar Perguruan MTB "Kecerdasan Emosional dan Penanaman Nilai-nilai Moral dalam Konteks Pembelajaran Siswa"di Pontianak, 17-18/10/ 2003).
Jalan-jalan haram terus bertambah dalam proses memperkaya diri dan golongan, mulai dari "salam tempel" di jalan raya, kantor lurah, camat, bupati, dan tempat-tempat pelayanan kemasyarakatan. Tak sedikit gubernur, wali kota, bupati, dan pejabat lain yang acapkali "diperas" wartawan, LSM, dan bahkan anggota DPR(D) yang bercita-cita memperjuangkan nasib rakyat. Sebaliknya, ada juga dari sejumlah oknum pejabat yang main sogok dalam proses merebut kedudukan dalam pemerintahan.
KONTRADIKSI dan disintegrasi antara pendidikan nilai moral di ruang sekolah (kadang nilai ini tidak pernah ditanamkan!) dan keadaan dalam masyarakat muncul karena beberapa alasan.
Pertama, penanaman nilai moral dalam dunia pendidikan formal umumnya masih berupa seperangkat teori mentah, terlepas dari realitas hidup masyarakat. Kurang digali akar terjadinya diskoneksitas antara penanaman nilai moral dan praksis hidup moral dalam masyarakat.
Kedua, sebagai lembaga formal yang menyiapkan peserta didik untuk bertindak dan mentransformasi diri sesuai nilai-nilai moral, ternyata sekolah belum memiliki jaringan kerja sama yang erat dengan keluarga asal peserta didik, lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan seluruh masyarakat.
Ketiga, adanya kesenjangan pandangan hidup antara mereka yang menjunjung tinggi dan melecehkan pesan moral dalam hidup sosial sehari-hari. Masih tumbuh subur kelompok sosial yang menghalalkan dan merestui segala cara dan jalan mencapai sasaran yang digariskan.
SETELAH tampil sebagai sistem pendidikan terbaik se-Inggris tahun 2002, Burnmouth kembali menggarisbawahi pentingnya jaringan kerja sama antarunsur dunia pendidikan formal, nonformal, dan informal. Program dalam dunia pendidikan formal akan "berhasil" jika didukung unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Tanpa kerja sama dan dukungan antaranasir sosial terkait, sosialisasi nilai-nilai moral sering mendapat kendala. Lembaga apa pun di masyarakat, entah milik pemerintah atau nonpemerintah, perlu mendukung perwujudan nilai-nilai moral yang disemai melalui dunia pendidikan formal. Perilaku yang korup, tak bertanggung jawab, dan manipulatif dengan sendirinya mengkhianati kaidah moral yang ingin diperkenalkan dunia pendidikan formal.
Nilai-nilai moral yang perlu disosialisasikan dan diterapkan di masyarakat kita dewasa ini umumnya mencakup:
Pertama, kebebasan dan otoritas: kebebasan memiliki makna majemuk dalam proses pendidikan formal, nonformal, dan informal. Selama hayat dikandung badan, tak seorang pun memiliki kebebasan mutlak. Manusia perlu berani untuk hidup dan tampil berbeda dari yang lain tanpa melupakan prinsip hidup dalam kebersamaan. Kebebasan manusia pada hakikatnya bukan kebebasan liar, tetapi kebebasan terkontrol. Kebebasan tanpa tanggung jawab mengundang pemegang roda pemerintahan dalam republik ini untuk menyelewengkan kuasa mereka demi kepentingan terselubung mereka. Kekuasaan yang seharusnya diterapkan adalah kekuasaan nutritif yang menyejahterakan hidup rakyat banyak;
Kedua, kedisiplinan merupakan salah satu masalah akbar dalam proses membangun negara ini. Kedisiplinan rendah! Sampah bertebaran, para pemegang kuasa menunjukkan posisi mereka dengan menggunakan "jam karet", aturan lalu lintas tak pernah sungguh-sungguh ditaati, tidak sedikit polantas hanya duduk-duduk di bawah pondok di sudut dan mengintai pelanggar lalu lintas; kedisiplinan mengatur lalu lintas memprihatinkan; banyak oknum disiplin dalam tindak kejahatan, seperti korupsi; kedisiplinan dalam penegakan hukum positif terasa lemah sehingga kerusuhan sosial sering terulang di beberapa tempat.
Ketiga, nurani yang benar, baik, jujur, dan tak sesat berperan penting dalam proses sosialisasi nilai moral dalam negara kita. Hati nurani perlu mendapat pembinaan terus-menerus supaya tak sesat, buta, dan bahkan mati. Para pemegang roda pemerintahan negara kita, para pendidik, peserta didik, dan seluruh anasir masyarakat seharusnya memiliki hati nurani yang terbina baik dan bukan hati nurani "liar" dan sesat. Keadaan sosial negara kita kini adalah cermin hati nurani anak-anak bangsa. Penggelapan dan permainan uang oleh pegawai-pegawai pajak, "pembobolan" uang di bank menunjukkan nurani manusia yang kian korup (bdk. John S Brubacher, Modern Philosophies of Education, New York: McGraw-Hill Book Company, 1978).
TERNYATA bukan tanpa halangan untuk menjalankan pendidikan nilai-nilai moral di tengah kurikulum pendidikan formal yang terasa "mencekik". Bagaimanakah seorang pendidik bisa menanamkan nilai moral dalam sebuah kurikulum demikian? Ada beberapa kemungkinan.
Pertama, terbuka peluang bagi pendidik untuk menggali dan menanamkan nilai-nilai moral di bidang pelajaran yang dipegang selama ini.
Kedua, pendidik bisa menyisipkan ajaran tentang nilai moral melalui mitos-mitos rakyat.
Ketiga, kejelian/kreativitas pendidik menggali identitas nilai moral.
Jelas, penanaman nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan formal sama sekali tak bersifat otonom, tetapi selalu terkait dunia lain di luar lingkaran dunia pendidikan formal. Lingkungan keluarga, pengusaha, RT, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, penagih pajak, imigrasi, polisi, tentara, jaksa, pengadilan (negeri, tinggi), Mahkamah Agung, kabinet, dan presiden seharusnya memiliki dan menghidupi perilaku yang benar-benar mendukung proses penanaman, penerapan, dan sosialisasi nilai-nilai moral yang digalakkan para pendidik.
Pemerintah dan masyarakat diharapkan menjadi sekolah yang dapat mensosialisasikan (terutama dalam arti menghidupi) pendidikan nilai-nilai moral.
Dr William Chang Pengamat Sosial Tinggal di Pontianak
This entry was posted
at 07.58
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.
Posting Komentar