SISWA PINTAR GAGAL DALAM UNAS

Posted

FENOMENA mengejutkan muncul dari hasil ujian nasional (unas) tahun ini. Prasetyo, siswa SMAN 68, Salemba, Jakarta Pusat, harus meratapi nasibnya. Meski nilai matematika menembus 9,75, dia dinyatakan
gagal unas. Itu terjadi karena nilai salah satu mata pelajaran di bawah standar minimal kelulusan. Kini siswa jurusan IPA yang di sekolahnya dikenal cerdas itu harus menjalani unas ulang.

Nasib serupa juga dialami rekan satu sekolahnya, Rohmi Sofiyati. Siswi yang kini sudah diterima di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta itu juga tak lulus unas. Padahal, dia termasuk siswa pintar dan berprestasi. Keruan saja, nasib yang menimpa Prasetyo dan Rohmi itu membuat guru-guru di sekolahnya terperanjat kaget (Kompas.com, 26/04).

Bisa jadi, masih seabrek peserta unas yang nasibnya bertolak belakang dengan kondisi keseharian di sekolah. Mereka sejatinya punya kepintaran akademik, namun hasil unas yang didapat justru tak menggembirakan alias jeblok. Dalam hati, mereka pasti berontak. Tapi, apa daya. Hasil unas memang begitu adanya. Tak urung, mereka hanya bisa pasrah menjadi korban keganasan unas.

Di sisilain, hasil unas kerap pula menorehkan fenomena aneh yang tak kalah mengejutkan. Yakni, siswa yang kesehariannya tergolong ndablek dan tidak pernah punya prestasi akademik, di luar dugaan, malah lulus unas dengan nilai sangat cemerlang. Bahkan, nilai unas yang mereka peroleh justru mengungguli nilai rekan-rekannya yang selama ini berprestasi di sekolahnya.

Sementara itu, hasi unas juga mencuatkan bias mencengangkan terkait angka ketidaklulusan. Di antara 16.467 sekolah yang mengikuti unas, 267 sekolah memiliki persentase kelulusan nol persen. Ironisnya, sekolah yang seluruh siswanya tidak lulus unas sehingga harus mengikuti ujian ulang bukan hanya dialami swasta, tapi juga terjadi di 51 SMA negeri (Jawa Pos, 28/04)


Beragam Kemungkinan


Pertanyaannya, mengapa hasil ujian berskala nasional begitu mudah memunculkan bias berupa kejutan-kejutan yang bertolak belakang dengan kondisi akademik siswa sehari-hari?

Yang jelas, jawabnya tidak cukup sekadar dikaitkan dengan faktor keberuntungan. Pertanyaan itu baru terjawab kalau sudah dilakukan kajian mendalam lewat sebuah penelitian. Meski begitu, sebagai pemikiran awal, membiasnya hasil unas bisa dianalisis dari beragam kemungkinan.

Pertama, bias hasil unas sangat mungkin terkait variabel alat uji yang berupa soal-soal ujian. Dalam penilaian pendidikan, sebuah alat uji disyaratkan punya reliabilitas dan validitas. Dengan demikian, hasil ujian akan menggambarkan kompetensi belajar siswa secara akurat apabila soal-soal yang diujikan memang punya keterandalan dan kesahihan.

Nah, dalam konteks unas, ternyata ada siswa pintar tapi tidak lulus. Sebaliknya, siswa ndablek malah meraih sukses. Itu berarti reliabilitas dan validitas soal unas sangat layak dipertanyakan. Seharusnya, jika soal-soal ujian memang valid dan reliabel, kecil sekali kemungkinannya hasil unas memantulkan bias-bias mengagetkan
semacam itu.


Kedua, belum sterilnya pelaksanaan unas dari aroma ketidakjujuran bukan mustahil ikut menjadi pemantik membiasnya hasil unas. Memang, ikhtiar Mendiknas M. Nuh dalam memproteksi menjalarnya virus kecurangan tahun ini pantas diapresiasi. Namun, faktanya, unas masih saja kebobolan. Berbagai modus kecurangan diwartakan media masih meledak di sejumlah satuan pendidikan penyelenggara unas.

Maraknya kecurangan itu jelas
mengacak-acak kemurnian unas. Katakanlah, isu kebocoran soal maupun beredarnya kunci jawaban lewat short message service (SMS) benar adanya. Di sekolah-sekolah yang kecurangannya tidak terdeteksi, hal itu sangat menguntungkan siswa peserta unas yang sejak awal memang menunggu
kehadiran 'dewa penyelamat'.

Karena itu, tidak usah kaget kalau kemudian unas menjadi bias. Jangan heran pula jika hasil unas akhirnya justru mencuatkan fenomena-fenomena mengejutkan. Itu semua merupakan konsekuensi logis dari sebuah perhelatan ujian yang 'menoleransi' adanya kecurangan. Dengan kata lain, hasil unas bakal sulit menggambarkan kompetensi belajar siswa secara objektif apabila praktik-praktik ketidakjujuran masih terus dipelihara dalam pelaksanaan unas.

Ketiga, membiasnya hasil unas mungkin juga berkaitan dengan beban psikologis siswa saat menjalani ujian.
Bayang-bayang ketidaklulusan, diakui atau tidak, menimbulkan beban mental tersendiri di kalangan siswa. Beban psikologis itu dipastikan bertambah berat karena sistem pengawasan unas dikemas begitu
menyeramkan.

Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan siswa ketika memasuki ruang ujian hanya dibolehkan membawa seperangkat alat tulis. Belum lagi kalau di pintu masuk ruang ujian harus digeledah untuk memastikan membawa alat komunikasi atau tidak. Itu belum cukup. Di dalam ruang siswa masih dipelototi dua orang pengawas dari sekolah lain.

Di luar itu, masih ada pengawas independendari perguruan tinggi dan aparat kepolisian yang berseliweran di lokasi sekolah. Bahkan, saat mengerjakan soal ujian, konsentrasi siswa terkadang terusik. Ini terjadi karena secara tiba-tiba ada inspeksi mendadak (sidak) dari para pejabat yang memantau jalannya unas.

Padahal, dalam suasana psikologis seperti itu, siswa dituntut untuk mengerjakan soal-soal ujian dalam durasi waktu yang sudah dipatok dengan harga mati. Di tengah kondisi mental yang tertekan, dipastikan siswa tidak akan mampu mengerahkan segala potensinya secara maksimal dalam menjawab soal-soal ujian. Karena itu, kalau kemudian hasil unas ternyata jeblok, biang pemicunya sangat mungkin diakibatkan beratnya beban psikologis tersebut.


Unas Enjoy


Kini yang perlu dipikirkan para pembuat kebijakan, bagaimana mengemas unas yang hasilnya tidak memunculkan banyak bias. Jika problem utamanya ditemukan, misalnya karena faktor alat uji, sudah selayaknya reliabilitas dan validitas soal-soal unas ditinjau ulang. Dengan demikian, nanti soal unas benar-benar punya keterandalan dan kesahihan dalam mengukur standar kompetensi belajar siswa. Kalau akar persoalan membiasnya hasil unas disebabkan faktor merebaknya kecurangan, penyelesaiannya tidak ada pilihan lain kecuali memperketat pengawasan unas dari berbagai lini. Hanya, ikhtiar memperketat pengawasan unas itu jangan sampai menimbulkan efek psikologis berlebihan. Sebab, buntutnya justru membuat suasana
unas bertambah menyeramkan. Toh, hingga kini tak ada landasan psiko-pedagogis yang merekomendasikan agar unas dikemas menyeramkan. Syukur-syukur, unas yang kerap dianggap 'monster' menakutkan itu nanti -kalau masih dipertahankan- lebih baik dikemas lebih enjoy tanpa menghilangkan substansi dan kredibilitas unas. 

Kalau memang bisa dikemas demikian, mengapa tidak? (*)

This entry was posted at 10.40 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

2 komentar

Anonim  

aaaaaaaaaaa

13 Mei 2010 pukul 11.34
Anonim  

parah sekali pendidikan di indonesia ini terus kalo terjadi demikian siapa yang disalahkan pemerintah apa dari gurunya sendiri???? ini malah anak yang menjadi korban meskipun ada ujian susulan.....................

13 Mei 2010 pukul 20.44

Posting Komentar

Posting Komentar

English French German Japanese Korean Chinese Russian Spanish India Saudi Arabia Netherland Portugal Italian Philippines Ukraina Norwegia
Powered by Widget translator
Create a Meebo Chat Room